Advertisement

Responsive Advertisement

Cerpen Buatan Sendiri "Cinta Sahabat"



Cerpen
Cinta Sahabat
Gugup selimuti jiwaku, entah apa yang aku rasakan saat ini, senang, takut, kecewa, malu, ragu, rasanya campur aduk membuat aku tak ingin lalui waktu ini. Ingin diam sejenak di detik ini. Tapi itu mustahil. “Raila Farisina” terdengar suara sangat lembut di balik dinding itu memanggil namaku, aku semakin gugup ketakutan karena ini pertama kali aku harus menyanyi di depan orang banyak. Biasanya aku menyanyi dengan bahagia bersama sahabatku, tapi detik ini aku diharuskan sendiri. Ku hela nafas sejenak, ku mulai langkahkan kakiku untuk tunjukkan bakatku pada semua orang. Ku lihat dibaris paling depan pojok kanan mereka sangat antusias melihatku di panggung, sembari memberiku semangat, karena mereka tau aku sangat merasakan gugup setengah mati, merekalah sahabatku.
“Kriiiiinggg”, aku seperti mendengar bunyi jam weakerku. Tapi aku masih tertawa bahagia bersama sahabatku Alika, Alif, dan Fahmi setelah aku berhasil menyanyikan sebuah lagu yang menurutku itu indah yang tak pernah kurasakan sebelumnya. “Raila banguun, Alika sudah nunggu di depan, ini sudah jam berapa” terdengar lagi suara yang tidak asing lagi bagi ku, suara mama yang selalu tiap pagi kudengarkan, walaupun aku telah dibangunkan oleh benda mati, tapi hanya suara mama yang mampu membangunkanku. Aku mulai membuka mata, hingga sadar itu hanya mimpi, mimpi indah yang selalu ku impikan setiap saat. “Ayoo bangun”, tegur mamaku, “Iya ma, ini Raila sudah bangun kok”, dan aku mulai sangat sadar ketika Alika masuk ke kamar ku, “Raila kok kamu belum siap-siap”, dengan wajah khas manyun Alika, “Emangnya kenapa, kok kamu rapi banget, hari ini kan hari minggu”, Jawab ku. “Iiicch Raila nggak asik banget sih, kita kan kemarin dah janji pagi ini kita mau ke rumah Alif, beri kejutan sama dia, hari ini kan hari ulang tahunnya yang ke 17”, Alika menjelaskan. “Oopppsss hehehe aku lupa, aku mandi dulu yaa”, daaah. Aku bergegas ngambil handuk dan ke kamar mandi, sementara Alika ku tinggalkan aku tak tau apa yang dia lakukan setelahnya.
Selesai mandi, akupun bergegas kembali ke kamar, dan pemandangan apa yang aku lihat sekarang, Alika tertidur, “hahaha” aku tertawa dalam hati. “Alika banguun, kok malah tidur, tadi semangat-semangatnya bangunin aku”, dengan sedikit malas Alika menjawab “Kamu siih lama banget mandinya, aku kan jadi ngantuk”. Tiba-tiba ‘tok’tok’tok” Assalamualaikum, Raila , ini aku” terdengar suara memanggilku di depan rumah. “Iya iya tunggu sebentar, Alika akan bukain pintu”, jawab ku dan itu pasti Fahmi hatiku bergumam, dia sahabatku yang paling pintar di kelas, soal-soal matematika aja dengan hitungan jari, dia pasti bisa menjawabnya. Alika nyolot dan mengagetkanku, “Raila ini gimana sih, ini kan rumah kamu, yang buka pintu itu harusnya kamu bukan aku”, dengan sabar aku menjawab “Alika kamu tau kan aku masih kaya gini, habis mandi, harusnya kamu ngerti dong”, dengan sedikit marah Alika berkata “Kamu itu selalu gitu, kamu yang harusnya ngerti aku, pernah nggak sih kamu yang nungguin aku, enggak kan?”, dengan cepat Alika bergegas keluar kamarku menemui Fahmi tanpa ingin mendengarkan aku untuk berbicara lagi. Aku pun terdiam, aku memang selalu ingin di tunggu, entah itu disengaja ataupun tidak, menurut ku di tungguin itu rasanya seperti orang yang penting, tanpa aku peduli dengan perasaan orang yang sedang menungguku, bahkan aku tidak peka dengan perasaan sahabat aku sendiri. Menurutku, dengan di tunggui itu aku merasa tidak pernah ditinggalkan. Tapi jujur sih aku tidak suka menunggu.  Sekarang perasaanku benar-benar campur aduk, aku harus segera menemui Alika untuk minta maaf.
Ku lihat Fahmi duduk sendiri di ruang tamu, “Fahmi, mana Alika?” tanyaku pada Fahmi, “Alika nya tadi pulang dulu, sakit perut katanya.” Jawab Fahmi. Oh tidak apa yang kulakukan tadi, kenapa kubiarkan Alika langsung pergi tanpa ku halangi dia sebentar untuk aku minta maaf. “Raila kok kamu jadi murung”, Fahmi penasaran. “Iya sebenarnya tadi Alika marah sama aku, gara-gara aku nyuruh dia untuk bukain pintu pas tadi kamu datang” aku menjelaskan. “Cuma gitu doang kok dia marah, nggak kaya biasanya”, Fahmi heran.  “Tadi kan dia nungguin aku di kamar aku lagi mandi, pas aku sudah selesai mandi, kulihat dia malah tidur, jadi aku bangunin dia deh, tanpa basa-basi aku nyuruh dia bukain kamu pintu, nah seketika dia langsung marah”, aku menambahkan. “Hem pantas aja dia marah, dia ngantuk gitu kamu malah nyuruh gitu”, Kata Fahmi. “Gitu apanya sih?” Aku tambah nggak mood. “ya udah ayo kita ke rumah Alika, biar kamu bisa minta maaf sama dia, salah kamu juga sih?” Fahmi menyalahkanku. “Makanya kamu harus ngerti dong sama sahabat sendiri, jangan maunya di ngertiin aja tapi tidak mau mengerti, kita kan sahabatan sudah lama dari SMP, dan ini sudah SMA kelas 2 pula, masa kamu gini-gini aja, udah tua juga,  kebiasaan buruk kamu tu hilangin, jangan suka di tungguin ngapa, harus on time, jadi cewek kok gitu”, cerewet Fahmi pun kambuh. Aku hanya tutup telinga denger dia bicara, tapi tetep aja masih kedengaran suaranya.
Diantara ke tiga sahabatku itu, memang Fahmi yang paling ngertiin kami, saat kami saling marahan, dia pasti yang menengahi, pikirannya emang dewasa, aku bangga punya sahabat kaya dia. Dia juga yang paling tau sifat-sifat kami, dan dia orang pertama yang selalu ku kasih tau jika terjadi apa-apa dengan ku, termasuk masalah hati. Kalau aku bercerita tentang perasaanku, dia selalu menjawab, aku adalah sebuah pena yang sedang mengotori kertas putih, tanpa tau kertas itu merasa sakit dengan goresan ujung penaku, tanpa tau kertas itu akan rusak jika terkena air, tanpa tau akan berdebu jika tak pernah ku buka lagi, tanpa tau dia akan hancur di makan oleh waktu. Ya kertas putih itu adalah Fahmi, yang siap menyimpan semua kisahku tanpa ada seorang pun yang tau.
“Alika, bukain pintunya dong, aku minta maaf soal tadi”, aku memanggil Alika di depan rumahnya, sedangkan Fahmi hanya berdiri di sampingku. Terdengar suara sayup-sayup di dalam rumah, “Iya nggak papa kok, aku kayanya nggak bisa ikut, kalian berdua pergi aja”, ya itu suara Alika. Aku langsung membuka pintu rumah Alika, dan ternyata pintunya tidak di kunci. Aku pun masuk bersama Fahmi dan langsung ke kamar Alika, ku lihat Alika berbaring di tempat tidurnya dengan di tutupi selimut. “Alika kamu kenapa, maafin aku soal tadi, aku tidak bermaksud untuk..”, aku cemas tapi Alika langsung menyela pembicaraanku. “SSSttttt, nggak papa kok, aku sudah maafin kamu, aku nggak bisa ikut kalian karena aku…”(sambil menatap Fahmi), aku pun langsung mendorong Fahmi keluar dari kamar Alika. Ya itu adalah isyarat kami berdua kalau masalah cewek. Fahmi pun sudah mengerti itu. “Okeh sekarang apa, kamu kenapa cerita sama aku, kamu nggak marah lagi kan ma aku, aku janji deh ngebuang kebiasaan buruk aku itu, aku janji untuk berusaha selalu tepat waktu, dan tidak ingin di tungguin lagi”, Janjiku sama Alika. Dengan semangat Alika menjawab, “Beneran neh, awas ya ingkar janji, aku udah lama nungguin kamu untuk ngomong itu sama aku, dan aku sangat bahagia kamu telah mengatakannya”. Saling berpelukan kami mengatakan bersama-sama ikrar persahabatan kami “Ingat ya janji adalah janji, tidak bisa di ganti dengan apapun, sekali ingkar janji, kamu tidak akan di percaya lagi”. Aku dan Alika mengatakannya berbarengan. Ya kata-kata itu telah kami buat sejak awal kami bersahabat kira-kira 3 tahun yang lalu bersama Fahmi dan Alif.
“Woyyy kalian ngapain sih lama banget, aku lumutan neh nungguin di luar” teriak Fahmi. Kami pun sambil tertawa-tawa menemui Fahmi, dan Fahmi agak sedikit gila jika melihat kami seperti itu. “Kalian ini aneh, ayo kerumah Alif” Fahmi agak sedikit bete karena terlalu lama nunggu. “Eeeiiitts sebelum pergi, kita harus bikin Fahmi senyum dulu dong”, kata Alika. “Okeh, ayooo, 1…2…3…”, jawab ku dengan semangat, tapi Fahmi sudah duluan kabur, karena sudah tau apa yang akan aku dan Alika lakukan padanya, yang pasti bakal narik pipi tembem Fahmi kiri kanannya agar dia terlihat senyum. Hahaha aku tertawa geli jika melakukan hal itu, wajah Fahmi pasti bakal merah banget. Hahaha “Eh kenapa kamu senyam-senyum sendiri”, Alika menegurku. “Itu Fahmi sudah kabur, nggak mau kita cubit makanya aku cenyam-cenyum”, jawabku. “Udah tau kali…” ejek Alika. Begitulah sahabat-sahabatku, aku nggak mau kehilangan mereka, mereka itu hidupku.
Sesampai di rumah Alif kami pun cepat-cepat memberi kejutan kepada Alif, dengan sepotong kue ulang tahun dan setengah kado ulang tahun, itu akan membuat kesan terburuk bagi ulang tahun Alif, itulah kami, hal yang aneh-aneh akan kami lakukan untuk membuat hidup Alif yang nyata menjadi tidak seperti biasanya. Alif itu orangnya sangat real, dia tidak suka bermimpi-mimpi yang tidak pasti. Bagi dia mimpi itu hanya sebatas angan-angan yang jika dipikirkan hanya akan membuang-buang waktunya. Dia kalau nggak suka sama sesuatu atau sama orang, dia bakal blak-blakan ngomongnya. Tidak peduli orang itu akan marah atau sewot dengannya, yang penting dia tidak terbebani dengan ketidaksukaannya dengan sesuatu dan kesukaannya dengan sesuatu itu. Dia itu orangnya juga sangat peduli sama sahabatnya, contohnya aja kemarin Alika di ejek oleh teman sekelas, gara-gara Alika di tuduh merebut pacarnya Citra si Adit, padahal itu hanya salah paham, Adit mengantarkan Alika pulang dari rumah Adit, ya tau sendiri lah Mamanya Adit itu kakanya mama Alika, jadi mereka itu sepupu, tapi teman Citra aja langsung bikin-bikin gossip yang nggak jelas kebenarannya. Alif pun langsung marah mengetahui kejadian itu, dan apa yang dilakukan Alif. Dia malah pergi ke kantor minjem pengeras suara untuk ngumumin kalau Adit itu sepupunya Alika jadi mereka berdua itu tidak seperti yang temennya Citra katakan. Gila parah satu sekolah heboh dengan kejadian itu.
Tiba-tiba Alif ngamuk “Hah kalian ini, di hari ulang tahun aku yang ke 17 ini, masa aku di kasih sepotong kue dengan kado nya cuma setengah gini, aagggh parah, nggak so sweet banget kalian ini, kan sweet seventeen”, ke girly girly an Alif pun muncul. Tapi itulah hal yang aku suka sama Alif, dia itu peka banget dengan peristiwa-peristiwa penting di hidupnya, termasuk hari ulang tahunnya. “Wee tenang-tenang sob. Nikmati dong kuenya, bukannya so sweet banget kalau sepotong kue in dimakan oleh empat orang”, Fahmi mnggodai. “Hahaha, bener juga ya?” Alif terpengaruh. Aku dan Alika pun ikut tertawa melihat kekonyolan 2 laki-laki itu.
-
Satu tahun berlalu, kini kami akan menghadapi Ujian Nasional. Kami sangat belajar keras, tiap hari kami selalu bertemu untuk belajar bersama. Hal itu semakin membuat persahabatan kami makin erat. Kebiasaan burukku yang selalu ingin di tunggu pun hilang. Aku pun tidak tau bagaimana nantinya kalau kami berpisah saat masing-masing dari kami telah kuliah. Aku mulai cemas, aku takut, aku tidak bisa kehilangan mereka, aku tidak bisa hidup tanpa Alika, Fahmi, dan Alif. Pernah aku berpikir untuk tidak kuliah, tapi itu tetap saja membuat aku tidak bisa selalu bersama mereka, karena Alika dia akan melanjutkan kuliah ke luar kota. Si Fahmi dapat beasiswa kuliah ke luar negeri, dan si Alif juga akan pindah ke luar kota karena tuntutan pekerjaan orang tuanya Alif, otomatis Alif juga akan kuliah di daerah dekat mereka tinggal.
“Raila bengong aja, kenapa?”, Fahmi memecah lamunanku. “Apaan sih, kaget tau.” Sambil manyun ku jawab Fahmi. “Kamu sih ngelamun gitu jelek tau, entar kesambek”, Fahmi meledekku. “Ciyeee Ciyeee.” Alif menggodaku, laki-laki yang entah dari kemarin aku lebih takut kehilangannya. Aku nggak tau apa yang aku rasakan saat ini, aku harus mengatakannya pada Alif sebelum terlambat. “Lif, nanti kita ngomong berdua ya.” Aku mencoba membuka pembicaraanku dengan Alif. “Enggak ah, ngomong disini aja.” Alif menolak dengan wajah dikit becanda. “hahaha becanda kok, iya iya tapi kita selesaikan dulu belajar kita”, Alif menambahkan. “Bener tuh, kata Alika”, membenarkan. Tapi jantungku menjadi semakin berdegup kencang, aliran darah ku mulai berkecamuk, bibir ku mulai kelu. “hahaha nggak jadi, becanda aja kok”, tiba-tiba kalimat itu muncul dengan sendirinya dari mulutku. Aku tak ingin merusak persahabatan kami. Jujur sudah 3 tahun belakangan ini aku rasakan rasa yang aneh ini, semakin kupendam, rasa itu semakin dalam. Aku tidak menyukai situasi ini. Tapi ini sudah terlalu lama. Fahmi pun mengetahui itu karena aku selalu bercerita kepada Fahmi.
2 Bulan Kemudian
Ujian Nasional pun telah berlalu, perpisahan sekolah juga telah berlalu. Pengumuman kelulusan pun telah berlalu. Alhamdulillah 100% lulus. Kini aku bersiap untuk berangkat ke Banjarmasin untuk kuliah. Alika sudah berangkat kemarin ke Samarinda. Fahmi 3 hari lagi dia juga akan pergi mengejar studinya d luar negeri. Sedangkan Alif, sudah seminggu yang lalu pergi ke Sumatera bersama kedua orang tuanya. Hari ini hanya Fahmi yang mengantarkan kepergianku. “Raila, aku mau ngomong sama kamu.” Kata Fahmi membuka pembicaraan denganku. “Iya mau ngomong apa?” jawab ku. “Baik-baik ya disana, aku akan selalu merindukanmu”, (sambil memeluk tubuhku). Aku terharu sehingga aku tak mampu membendung air mata ku. “Kamu kenapa nangis, senyum dong, jelek tau kalau kamu lagi nangis.” Fahmi membujukku agar aku menghentikan tangisanku. Tapi aku semakin menangis. “Sssttt sudah sudah, kamu pasti kuat.” Fahmi menguatkanku. “Alif”. Tiba-tiba mulutku menyebut namanya. Fahmi melepas pelukannya padaku. “Andai kamu tau Ra, aku menyayangimu, aku mencintaimu melebihi seorang sahabat sejak kita pertama bersahabat.” Aku langsung berhenti menangis, apa yang sudah dikatakan Fahmi tadi, apa aku salah dengar. “tadi kamu ngomong apa?” aku meyakinkan pendengaranku. “Nggak apa-apa kok. Ini tisu, hapus air mata kamu.”
Diperjalanan ku menuju Banjarmasin, aku mencoba menyadarkan diriku, dan mengingat kembali apa yang Fahmi katakan padaku tadi, dia menyayangiku, dia mencintaiku melebihi sahabat, apakah mungkin. Sekarang aku mengerti apa maksud kata-kata Fahmi itu, ya kata-kata yang selalu dia ucapkan ketika aku bercerita tentang Alif padanya. ‘Aku adalah pena yang sedang mengotori kertas putih (Fahmi), tanpa tau kertas itu merasa sakit dengan goresan ujung penaku, tanpa tau kertas itu akan rusak jika terkena air, tanpa tau akan berdebu jika tak pernah ku buka lagi, tanpa tau dia akan hancur di makan oleh waktu’. Aku sedih sekali dengan kejadian ini. Terlalu bodoh kah aku tidak bisa memandang makna dalam matanya, tak bisa mengerti bahasa tubuhnya, tak bisa tau bagaimana perasaannya. Aku sekarang merasa benar-benar bodoh. Aku pun berniat untuk menghubungi Fahmi, tapi apa yang terjadi. Pesan ku tidak bisa terkirim ke nomornya, ku telpon dia, tapi tidak bisa tersambung. Ku kirim pesan lewat e-mail dan sosmed lainnya, tak pernah di balasnya, di read pun tidak. Aku bingung aku sangat kehilangan arah. Aku pun menceritakan hal ini kepada Alika, tapi tentang aku menyukai Fahmi itu tetap kurahasiakan dengannya. Alika pun mencoba menghubungi Fahmi, Alika pun mengalami hal yang sama denganku. Tak pernah ada kabar tentang Fahmi sejak saat itu.
2 Tahun Kemudian
Sudah separuh jalan ku lewati waktuku untuk kuliah, InsyaAllah 2 tahun lagi aku lulus. Hp ku pun berdering, ternyata Alika menelponku. Alika bercerita kalau Alif menyatakan cinta padanya, dan mereka telah jadian. Aku tak sanggup lagi mendengar Alika bercerita, aku pun mematikan teleponnya dengan tidak sopan. Aku sudah benar-benar kehilangan kesempatanku untuk memiliki Alif, pantas saja, semenjak perpisahan itu Alif tambah tidak terlalu memperhatikanku, ya dia dari dulu memang selalu cuek denganku, tapi aku tetap menyukainya. Aku tidak tau lagi harus ngapain sekarang, tiba-tiba brugg.
“Kamu tidak apa-apa kan, maafin aku yaa, aku nggak sengaja menabrak kamu, dan kamu dari tadi memang terlihat pucat”, seseorang berbicara padaku, dia kaka tingatku bernama Dika, dari dulu dia selalu memperhaikanku, kata teman-teman ku, dia suka denganku, tapi aku tidak peduli itu. “Iya ka, nggak papa kok, aku cuma kelelahan”, jawab ku pelan. “ya sudah ayo kita ke kantin dulu, kamu pasti belum makan”, Ajak ka Dika. Aku pun tidak bisa menolaknya, karena aku memang benar-benar belum makan. Tentang Alika pun aku mencoba untuk menghindarinya.
Setelah kejadian itu, akupun semakin akrab dengan ka Dika. Tapi hari ini terlihat beda, ka Dika mengajakku ke taman, dan apa yang terjadi, ka Dika menyatakan cinta padaku. Entah apa yang aku rasakan saat ini. Tapi aku merasa biasa-biasa saja. Tapi aku mencoba menerimanya untuk menghilangkan masa laluku yang buruk itu.
Setelah aku bersama Ka Dika, akupun kembali menghubungi Alika untuk meminta maaf, gara-gara 2 bulan yang lalu aku mematikan telponnya, dan ku bilang saja hp ku saat itu tiba-tiba rusak. Dan syukur Alhamdulillah Alika menerima maafku. Dan ku doakan agar hubungan mereka baik-baik saja karena dengan berjalannya waktu aku pun mulai mampu menerima kenyataan itu. Di tambah lagi Ka Dika itu orangnya juga baik, perhatian, peduli, dan cukup dewasa pemikirannya membuat aku nyaman bersamanya.
Hari ini aku wisuda, tiba-tiba dari kejauhan ku lihat seseorang yang menurutku tidak asing lagi dengan ku. Dia Fahmi, dia terlihat putih sekarang, tambah tinggi juga, tapi pipi tembemnya tetap awet, gumam hatiku. “Hai Raila, gimana kabarnya, selamat ya sudah lulus kuliahnya”, kata Fahmi setelah dia berada tepat dihadapanku. Aku terdiam, aku tak mampu berkata-kata lagi. “Hai sayang, ini bunga untuk kamu”, Adit datang membawakan bunga untuk ku. Aku tambah membisu. “Sayang”, sekali lagi Adit berbicara padaku. Hatiku tambah berdegup kencang, amukan batinku semakin memanas ketika Fahmi mengenalkan dirinya kepada Adit, ternyata Fahmi sudah tau kalau aku sudah memiliki pacar. “Beruntung kamu punya pacar seperti Raila”, Fahmi membuka pembicaraannya pada Adit. “Iya kamu benar”, jawab Adit. “jaga dia baik-baik ya?” Kata Fahmi lagi kepada Adit. “Oh iya pasti, makasih ya” jawab Adit lagi. Tiba-tiba Alika dan Alif pun datang, aku sungguh tidak menyangka mereka akan datang, karena seminggu yang lalu mereka mengatakan ingin pergi ke Jakarta bersama. Bohong mereka pun ku percaya. Kini persahabatan kami utuh kembali, walaupun kami tidak bisa bersama seperti dulu lagi, tapi aku tau ada cinta disetiap langkah yang kami lakukan.
Aku di antara sadar dan tidak sadar, aku tak percaya ini telah terjadi padaku. Aku tidak tau juga bagaimana nanti dikedepannya. Tapi aku sadar, rasa sayang dan cintaku masih ada untuk Alif. Tapi aku tidak boleh egois, ada cinta di luar sana yang lebih hebat menunggu ku, cintaku yang hebat untuk Alif tidak perlu ku utarakan, karena hanya akan merusak persahabatan kami, bukankah Alif juga sudah bahagia dengan Alika. Cinta Fahmi kepadaku pun begitu, dia lebih memilih karirnya, karena dia percaya jodoh nggak akan kemana. Sahabat lebih berharga daripada secuil keegoisan cinta. Kita tidak akan pernah tau seberapa lama sahabat bersabar untuk kita, tetapi kita akan selalu tau seberapa lama cinta bersabar untuk kita.

Karya: Rinawati

=END=
 

Post a Comment

0 Comments