Advertisement

Responsive Advertisement

Cerpen: Di Balik Kesialan



Blog Post ini di buat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen ‘Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan.’
#SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Hoda Motor dan Nulisbuku.com
“Di balik Kesialan”
            Terik matahari tak akan menghalangiku untuk berangkat pulkam. Pulkam perdana. Entah tau atau tidak jalan pulang, bingung kalau nemu bundaran, takut nyasar. Tapi aku bertekad sebelum jam 6 maghrib aku harus sampai rumah dengan selamat. Tapi apalah daya, jalanan perkotaan ini membuat aku bingung. Di situ ada jalan, di sana ada jalan, disini ada jalan. Hah maklum anak kampung nyasar di kota buat nuntut ilmu.
Tuuuttttt tuuuuttt tuuuttt teeettttt teeetttt. “Mampus dah”. Prueeeeettt suara peluit. “Mampus mampus mampus”. Batinku. “Sini dek, sini ke tepi dulu, ayo ikut bapak”. Seorang polisi menegur kami. Entah apa yang aku rasakan saat itu. Tapi jantungku serasa pengen copot. Dan mengutuk ngutuk kenapa aku nggak berhenti, aduh kenapa aku gila parah. Udah buta warna kah aku. Kejadiannya begitu cepat. Sampai-sampai jam tanganku serasa bergerak dengan kecepatan cahaya.
“STNK, SIM”, polisi menanyakan identitas ku. Tubuhku terasa 7 L, lemah, lesu, lunglai, letih, lelah, laper, lumpuh. “Ini pak.” Dengan gemetar aku menyerahkan apa yang di minta polisi. Hampir sejam aku di kandang singa, serasa ingin lari dengan kecepatan bunyi, biar polisi masih mampu mengejarku dengan kecepatan cahaya. Opsss apa ada yang salah dengan kata-kata ku. Bingung sendiri.
***
Masih membekas di relung hatiku, tak mampu aku lupakan, tapi sayangnya aku tidak mampu menyimpan sketsa wajah orang itu. “Dasar polisi jahat”. Aku berteriak tanpa sadar di dengar oleh ibuku. “Udah, udah, ikhlasin aja, mungkin itu rezekinya dia”. Suara itu menyuruh aku tenang. “Iya Bu, cuma masih sedikit kesal aja”. Gimana enggak kesel coba, 150 ribu di lalap polisi itu, padahal aku belum ngisi bensin saat itu, saat dimana aku harus ngisi bensin full biar bisa sampe rumah. Itu aja sampe-sampe urunan dengan temen aku yang nebeng aku untuk membayar denda itu. Tapi ya sudahlah, harus aku ikhlaskan, aku memang salah, lampu merah ku tabrak. Orang yang lain arah kan mau lewat juga. Juga capek nunggu lampu merah yang dari tadi menunda mereka.
Kejadian itu sangat memberiku pelajaran untuk harus berhati-hati dalam berkendaraan. Belum lagi itu juga bisa mengancam nyawaku. Tapi semenjak itu aku jadi trauma lewat lampu merah. Pas lampu hijau aja rasa nggak berani ngelewatin. Huhuhuhu
***
Belum seminggu kejadian itu. Aku sudah berada di kota ini lagi. Tempat yang masih terasa asing bagi ku. Dimana orang-orang lebih mementingkan keadaan mereka. Dimana disini aku sulit menatap langit yang menaungi ku setiap harinya. Langit se akan tidak ada, yang ada hanya gedung-gedung tinggi, atap-atap rumah kos-kosan. Huhh. Nggak kaya di rumah, aku bisa leluasa menatap langit biru siang dengan terik matahari dengan di naungi pohon-pohon. Langit biru malam yang di penuhi bintang-bintang, seakan saling berbisik siapakah yang paling terang. Seakan saling memperagakan keahliannya masing-masing untuk ku pilih satu di antara ribuan bintang itu. Ahh ngomong apa aku. Nggak jelas.
“Ini minumannya” kata Penjual Pop Ice yang dari tadi kebingungan menyapaku, karena aku terperangkap lamunan yang tidak tau apa yang ku lamunkan, membuatku hampir lupa sedang memesan sebuah minuman. “Iya Bu, maaf, makasih, ini uangnya”.
Beranjak dari tempat itu. “Hey Aria”, terdengar ada yang memanggilku. Ternyata itu Arya, sahabatku. “iya Ar, ada apa?”. Jawabku lelah. “Kenapa lemes gitu, semangat dong kaya aku”. Kata Arya sambil menyengirkan bibirnya tersenyum pahit, eh maksudnya tersenyum manis. Aku diam saja sambil menghabiskan minumanku.
“Aku pulang dulu ya Ar?”
“Eh kok cepet banget”
“Aku mau nyelesaikan laporan ku nih, besok di kumpul.”
“Deathline lagi?”
Aku hanya tersenyum simpul sedikit berlari ke arah parkiran. Dan kelihatannya Arya mengiyakan aku pergi. Walaupun dia nge larang aku, aku akan tetap beranjak pulang, emang dia siapa aku. Pikirku.
            ***
            Brruuuukkkkk. Hah “what happened?” Batinku. Aku benar-benar mencium aspal sekarang. Sontak aku bangun, tanpa menghiraukan orang-orang yang menghampiriku. “Wahh lampu depan pecah.” Kata seorang tukang tambal ban. “Cepat bawa motornya ke tepi jalan, nanti ada polisi” seseorang yang lain berbicara. Yang paling aku nggak habis pikir, orang tambal ban itu, harusnya nanyain keadaan ku, eh dia malah ngutamakan melihat kerusakan motor ku.  Gimana hati aku nggak sewot coba. Aggghhh sial. Kenapa aku tadi nggak lama-lama dulu sama Arya.
            “Kamu nggak papa nak?” seorang ibu bercadar mengahampiriku dengan anaknya, terlihat dari mata ibu itu sedang ketakutan, di tambah lagi anaknya yang kira-kira berusia 10 tahun, menangis kencang melihat keadaanku.
            “Iya Bu, nggak papa.” Padahal aku sudah mulai merasa bibirku perih, dan terasa sakit. Dan darah di mulutku, aduh ingin rasanya meludah, tetapi banyak orang.
            “Cepat, ayo ke rumah sakit.”
Hah ke rumah sakit, aduh takut. Batinku. Paling anti kalau ke rumah sakit, apalagi di kasih-kasih obat. Haduuh gimana coba aku ngabisin obatnya. Aku kan nggak bisa nelen obat, harus di cairkan dulu. Tahu sendiri lah gimana pahitnya obat itu kalau di cairkan.
            “Nggak usah Bu.”
            “Aduh, nggak usah gimana, kamu beradarah”. Terlihat sangat panik ibu itu. Akhirnya aku nyerah. Aku pun ke rumah sakit. Ternyata tidak di bibir saja lukaku, ternyata di lutut juga. Haduh pas di rasa-rasa, baru terasa sakitnya. Pas di TKP mah yang terasa cuma malunya.
            “Ini obatnya.” Kata Ibu itu sambil menyerahkannya padaku. Aku sadar, uang di saku celana aku cuma tersisa 20 ribu.
            “Maaf Bu, ini berapa” Tanyaku gemetar.
            “Sudah, nggak papa, sudah Ibu bayar.”
Aku tidak bisa berkata apapun lagi, aku sangat merasa bersalah. “Terima kasih Bu.” Hingga akhirnya aku hanya mengatakan itu.
            ***
            Sudah 3 hari sejak kejadian itu. Tidak berani aku menceritakan hal ini kepada ke dua orang tuaku. Takut mereka khawatir. Ya pasti bakal khawatir. Biar lah ini aku tanggung sendiri. Ya sakit ini. Tubuhku yang serasa habis di pukuli orang sekampung. Hal ini memang wajar, respon tubuh saat membuatnya kaget. Makanya di kasih obat, biar bisa mengurangi rasa sakit. Tapi walaupun begitu, tetap aja terasa sakit.
            Teringat ibu itu, rasanya ingin meneteskan air mata. Bagaimana tidak, itu juga terjadi karena kesalahanku, nyebrang nggak liat-liat. Mana ibu itu bayarin biaya di rumah sakit, membetulkan lampu depan motorku yang pecah. Berapa kerugian ibu itu. Berapa uang yang harus Ibu itu keluarkan untukku. Walau memang ibu itu yang nabrak ban depan aku, yang membuat aku terjatuh. Tapi aku yang salah, aku yang salah. Aku yang nggak hati-hati naik motor. Aaaghhh bagaimana caranya balas budi terhadap ibu itu. Di tambah lagi Ibu itu sambil membonceng anaknya, yang ingin mengantar makanan ke tempat guru ngaji anaknya karena anaknya mau tamatan Al-Qur’an pada hari itu. Berapa kotak nasi yang terjatuh di jalan raya itu.
            “Sudah lah Ri”, Arya menenangkanku.
            “Gimana mau tenang.”
            “Udahh, makanya lain kali hati-hati, kalau naik motor, kaca helmnya di tutup, coba kalau di tutup, nggak bakalan nyium aspal kan.”
            “Iya iya aku yang salah.”
            “Lain kali STNK, SIM itu jangan sampe di pisah kalau pergi kemana-mana, untung kan kemarin nggak ada polisi, coba kalau ada, emang mau berurusan sama polisi lagi”.
            “Ini mau nenangin, apa mau marahin sih?”
            “Keduanya.”
            “Eh rese.”
            “Iya udah cup cup cup. Sayang Ariana. Nyawa kamu tuh, nyawa dia juga” sambil nunjuk motorku.
            “Maksudnya?” Aku bingung.
            “Maksudnya tuh, nyawa motor kamu tergantung kamu.”
            “£”$%%%&()*&%$???” Tambah bingung.
            “Aku juga bingung. Hehehe udah lupakan”.
            “Iya emang udah aku lupakan.”
“Aiisshhh. Gini lo, ada pepatah bilang ‘Jangan mau dikendalikan, tapi kamu yang mengendalikan’. Kamu sayang sama nyawa kamu nggak?”
            “Ya sayang lah.”
            “Nah tu liat motor kamu, kamu butuh dia nggak?”
            “Iya butuh.”
            “Jadi kamu nggak butuh aku?”
            “Serius?”
            “hehe…..”
Tambah bingung sama kelakuan ini anak. Sambil memikirkan kata-kata Arya, kok aku malah tambah pusing, rasanya ingin bergegas meninggalkan Arya, dan menangis mengurung diri di kamar sambil menyalah-nyalahkan diri sendiri.
            “Hey, diam aja”
Arya mengacaukanku lagi. “Apaan sih? Gue mikirin kata-kata kamu tadi ne bikin kepala aku nyut-nyutan gara-gara kata-kata yang gak jelas itu”.
            “Nggak jelas katanya, enak aja.”
            “Emang nggak jelas.” :p
            “Iya iya, pokoknya kamu kalau naik motor harus hati-hati, inget aku ngapa, yang sayang sama kamu.”       
“Iya deh apa kata kamu.”
            “Jangan sampai nyusahin orang lain, hanya gara-gara kecerobohanmu itu.”
            “Jadi aku nyusahin?”
            “Bukannya gitu, keselamatan kamu, keselamatan orang juga.”
Mendengar kata-kata itu, aku terperanjat. Benar-benar membuatku tertunduk. Ingin rasanya mengulang waktu yang sudah berputar. Tapi tidak mungkin. Dua kejadian yang berturut-turut menimpaku. Benar-benar membuatku trauma. Trauma akan lampu merah. Trauma akan naik motor.
            Untuk apa aku punya SIM, kalau aku tidak bisa ‘Tertib, Aman, dan Selamat bersepeda motor’. Apa SIM hanya sebuah simbol yang wajib dimiliki orang-orang yang bersepeda motor jika tidak ingin kena sanksi?. Itu persepsi yang salah. Aku menyadarinya sekarang. Tertibnya aku, menjaga pengendara lain. Amannya aku, mempernyaman pengendara lain. Keselamatanku, keselamatan orang lain.
=THE END=

Post a Comment

0 Comments