Advertisement

Responsive Advertisement

Kebaikan Antara Cinta dan Uang



Kebaikan antara Cinta dan Uang
Entah apa yang ingin aku tulis saat ini, waktu berlalu begitu cepat saat aku banyak kegiatan. Waktu berlalu begitu lambat saat aku merasa kesepian. Sepi nggak ada kamu, ya kamu yang dari dulu buatku jatuh hati, tapi apalah daya kamu disana dan aku disini. Ruang yang sekarang menghimpitku, waktu yang juga ikut mendesakku untuk ke detik berikutnya. Membuatku sadar, kamu tidak nyata bagiku.
            “Ciyeeee yang dari tadi lagi nulis, penulis yang nggak kesampaian, kaya cewek aja nulis begituan, move on move on”.
Segera aku menutup buku yang sedari tadi tergelatak di pangkuanku dengan pena yang sedari tadi mencium kertas putih di dalamnya tuk ceritakan apa yang sudah ku lewati hari ini.
            “Bengong aja”
Aku terbangun dari bayangan itu. Bayangan yang dari tadi hiasi pikiranku. Sosok yang mampu buatku strong luar biasa, dan down luar biasa. Seolah hari ku ditentukan olehnya. Astaghfirullah. Plak, seseorang menepuk bahuku yang dari tadi menegurku tapi tak ku respond. “Udah deh ngelamunnya, belum bisa move on itu biasa, tapi jangan sampai hal itu mengacaukan kegiatanmu, sob, dari tadi gua di sebelah loe, loe cuma bisa diemin gua, coba aja aku ini secangkir kopi hangat, aku bakal sakit hati nggak loe minum, hingga aku tak bisa merasakan apapun, mati kedinginan di dalam gelas yang tak berdaya”. Kambuh dah penyakitnya ‘pikirku’, penyakit alay maksudnya. Wkwkwk aku tertawa geli mendengar kata-katanya.
            “Ya udah, dah malem, yuk tidur, besok kan ada kuliah pagi” Ajakku.
            ”Oke sob, aku sebelah kanan, dan loe sebelah kiri, soalnya kemarin aku udah di kiri”
Ampun dah, masalah gituan aja ribet. Aku hanya menganggukkan kepala.
***
            “Cepet Riz, entar kita ketinggalan angkot neh” kata Akhmad.
            “Iya tunggu, ini lagi benerin sepatu”. Jawabku.
Seperti biasa, ada seorang perempuan dengan pakaian lusuh, dengan keringat di keningnya, bibir yang pucat, duduk di trotoar dengan sekaleng gelas di depannya, meminta belas kasihan orang yang lewat di jalan itu. Seperti biasa juga Akhmad sahabatku akan mengeluarkan uang di saku celananya tuk dia berikan kepada perempuan tersebut. Aku sebenarnya tau, uang dia itu pas-pasan. Tau sendiri lah anak kost keuangannya kaya gimana, harus hemat. Aku tau yang dia lakukan itu baik, tapi yang membuatku ganjal dengan hal ini, dia selalu memberi perempuan itu uang setiap harinya, tanpa jeda, kecuali hari libur. Aku mulai berpikiran macam-macam. Apa Akhmad menyukai perempuan itu, pikirku. Ah aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Bagaimana bisa sahabatku menyukai perempuan malas seperti itu. Apa perempuan itu tidak malu, hanya bisa mengemis-ngemis kepada orang lain, padahal kan dia normal, punya 2 kaki, punya 2 tangan, 2 mata, pokoknya nggak ada yang kurang, mau-maunya mengemis seperti itu. Aku sangat membenci perempuan itu.
“Kenapa Riz, kok bengong mulu dari tadi”. Kata Akhmad saat sadar muka ku manyun dari tadi.
“Udah?”
“Udah, apaan?”
“Udah ngasih nafkah ke perempuan itu?”
“Astaghfirullah, kenapa kamu ngomong gitu, niat aku baik mau nolong dia.”
“Nolong apaan, kamu kaya gitu, malahan nambah dia jadi pemalas tau.”
“Nah tu angkot, ayo naik”. Akhmad mengabaikan perkataanku.
“Tunggu, kamu suka sama perempuan itu?”
“Aissshhh apaan sih, enggak lah, aku cuma mau nolong dia.”
Akhmad meninggalkanku naik ke angkot, aku tidak bisa berkata apapun lagi, aku pun menyusulnya. Di dalam angkot kami hanya diam, tanpa saling tatap. Kaya orang pacaran gitu yang lagi ngambekan.
***
            Sudah 5 hari kami saling cuek, dalam 5 hari berturut-turut juga dia selalu mampir menyelipkan sedikit uangnya ke gelas perempuan itu. Karena memang itu adalah kegiatan rutinnya ketika pulang kuliah sambil nunggu angkot. Cukup ajaib, apa istimewanya coba perempuan itu. Kekesalanku dengan perempuan itu sudah sangat luar biasa. Hingga tak ada sutu kebaikan yang ku lihat dari diri perempuan itu.
            “Rizky, maafin gue”. Kata Akhmad sambil mengulurkan tangannya kepadaku.
            “Enggak, harusnya aku yang minta maaf, nggak harusnya aku ngomong gitu kemarin, aku tau kamu punya alasan sendiri, kenapa melakukan hal itu, maafin aku Akh?”
Akhmad pun memelukku, pelukan seorang sahabat, aku merasakan itu. Memang tak seharusnya kami seperi ini. Ditambah lagi kami sudah sangat akrab karena tinggal di tempat yang sama. Sama-sama jauh dari keluarga. Akhmad lah sekarang keluargaku disini.
***
            Sudah 2 bulan kejadian itu berlalu, namun sudah 1 bulan ini, Akhmad tidak menyisakan uangnya lagi kepada perempuan itu. Hal itu karena perempuan itu tidak ada lagi di trotoar itu, tidak lagi mengemis-ngemis minta belas kasihan orang yang lewat trotoar itu. Apa yang terjadi dengan perempuan itu, apakah dia sakit, pikirku. Aku sedikit gelisah memikirkan hal ini, aku bingung sendiri kenapa aku memikirkan hal ini, aku lihat Akhmad, dia biasa-biasa saja, malahan dengan uang yang tidak harus dia beri kepada perempuan itu selalu dia belikan Es jeruk peras yang meneduhkan tenggorokannya saat panas-panas nunggu angkot. Dia terlihat seperti biasa, tidak ada beban, tidak ada merasa kehilangan. Dan aku seharusnya bahagia, karena tidak ada lagi perempuan itu, yang pernah membuatku dengan Akhmad sempat bertengkar gara-gara perempuan itu. Aku pusing sendiri memikirkan hal ini. Cepat-cepat ku hapus segala memori tentang perempuan itu, yang aku tau perempuan itu hanya sampah masyarakat. Tapi apa, aku gagal.
            “Mau Riz ?” sambil menyodorkan minumannya kepadaku.
            “Iya mau, haus nih?” jawabku memelas.
            “Beli aja ndiri.”
Njerrrrr. Kena PHP lagi. Akhmad tertawa lepas.
            “Resek.”
            “Becanda kok, nih.”
            “Ya makasih,” jawabku singkat.“Ouh ya Akh, kamu merasa ada yang aneh nggak?” aku membuka pembicaraan kepada Akhmad. “Aneh gimana?” tanyanya balik sedikit kebingungan.
“Itu si perempuan itu, kenapa dia nggak ada lagi?”
“Memangnya kenapa? Kangen?” kata Akhmad menggodaku.
“Belum pernah makan batu kah?” Jawabku sedikit jengekl.
Hahahhaha.. Akhmad hanya menertawakanku. Sejak saat itu, tak berani lagi aku membuka pembicaraan tentang perempuan itu kepada Akhmad, yang ada cuma jadi bahan tertawaan Akhmad.
***
            “Akhmad, nih ada surat buat kamu, aku hampir  lupa memberikannya sama kamu.”
            “Surat apaan, dari siapa?”
            “Nggak tau, ya di buka aja, suratnya kelihatan lusuh sih?”
            “Siapa yang ngasih?”
            “Ibu penjual es jeruk peras langgananmu.”
Beberapa menit setelah di bukanya oleh Akhmad surat itu, terlihat muka serius ketika dia membacanya. Aku penasaran apa isi surat itu. Kepo ku muncul.
            “Apa isinya?”
Terlihat segumpal bening di dalam matanya. Aku tambah penasaran.
Senin, 16 November 2015
Dear Akh..
Maaf, Alibra lancang menulis surat ini. Akh masih ingat kan dengan perempuan yang selalu duduk di trotoar memakai baju lusuh, dengan keringat di keningnya, bibir yang pucat, duduk di trotoar dengan sekaleng gelas di depannya, meminta belas kasihan orang yang lewat di jalan itu. Alibra yakin, Akh masih ingat. Dia ingin mengucapkan terima kasih pada Akh yang selalu menyedekahkan uang Akh pada perempuan itu, perempuan itu tau, Akh juga tidak memiliki banyak uang tetapi selalu berusaha untuk menyelipkan uang Akh pada gelas kaleng yang berada di depannya.
Alibra sebenarnya sungguh bingung, bagaimana menceritakannya pada Akh, yang jelas Akh itu memang orang baik. Perempuan itu sangat merasa beruntung dipertemukan dengan Akh, walaupun dengan situasi dan kondisi seperti itu. Bukan sebagai teman kuliah, namun antara seorang masyarakat dengan sampah asyarakat.
Kini perempuan itu sudah punya pekerjaan, pekerjaan halal tentunya, sudah punya tempat tinggal, tidak lagi beralaskan tanah beratapkan langit, karena uang pemberian dari Akh, sungguh luar biasa hasil dari kebaikan Akh. Saat itu, ketika setelah 2 minggu dia sadar, kalau Akh selalu memnyelipkan uang Akh ke kaleng miliknya, dia berinisiatif untuk memisahkan uang pemberian Akh dengan pemberian orang lain, hingga hampir 1 setengah tahun, perempuan itu mengumpulkan uang pemberian dari Akh. Hingga pertemuan yang selalu terjalin antara Akh dengan perempuan itu, membuatnya jatuh hati pada Akh, bukan karena Akh tampan, tapi karena kebaikan Akh. Sejak saat itu perempuan itu tidak mau pindah tempat untuk mengemis, agar bisa selalu bertemu Akh, walau hanya beberapa detik.
Seiring berjalannya waktu, perempuan itu mulai sadar, kalau ingin di cintai Akh, maka dia harus menjadi perempuan yang lebih baik, bukan bertahan untuk selalu mengemis agar bisa bertemu Akh. Dia sadar dia perempuan pemalas, yang hanya bisa diam di tempat meminta belas kasihan orang. Seiring berjalannya waktu dia mulai merasakan cintanya kepada Akh semakin besar, dia mulai berpikir kalau hidup itu tidak melulu untuk uang semata. Jika semua orang berpikir, uang itu penting dan harus dimiliki oleh setiap orang, maka tak kan ada orang yang mau memberikan uangnya dengan cuma-cuma. Namun Akh, dengan kelapangan dada Akh selalu menyisihkan uang Akh pada perempuan itu. Uang mudah untuk didapatkan dengan cara halal atau haram sekalipun, namun cinta tidak semudah membalikkan telapak tangan. Di situlah perempuan itu belajar.
Maaf jika tulisan Alibra sedikit sulit di pahami, namun sekali lagi perempuan itu sangat berterima kasih dengan Akh. Alibra ingin sekali bertemu dengan Akh, nanti ketemu ya hari Rabu di Kedai Kopi dekat kampus Akh, Alibra tunggu disana, semoga Akh berkenan bertemu Alibra. Sebelum jam 10 pagi ya Akh.
Salam Hangat dari Alibra
            “Dia minta ketemuan? Tapi hari ini hari Jum’at tanggal 20. ”
            “Sudah terlambat waktunya udah kadaluarsa, sebenarnya siapa Alibra itu? Namanya mirip?”
            “Mirip siapa?” tanyaku penasaran.
            “Ah sudah lah tidak penting.”
Sebenrnya aku masih penasaran, tapi sepertinya tidak begitu penting, jadi kuurungkan saja niatku untuk mengorek-ngorek hal itu. Kulihat Akhmad terdiam, tertunduk di kursi dekat jendela di iringi hembusan angin sepoi-sepoi.
Sepertinya Akhmad ingin sekali menemui perempuan yang bernama Alibra itu, aku jadi menyalahkan diriku sendiri, karena lambat memberikan surat itu pada Akhmad, itu juga gara-gara kemarin aku lupa naruhnya.
            “Mad, sorry ya aku telat ngasih surat itu sama kamu”.
            “Ya sudah nggak papa, bukan salah kamu juga kok, andai memang aku bakal ketemu dengan si Alibra itu, pasti Tuhan punya cara lain untuk mempertemukan kami”.
Aku hanya bisa sedikit mengangguk dengan perasaan bersalah.
***
            Entah apa yang membuat Akhmad mengajakku ke tempat ini. Aku merasa heran, bingung sekaligus senang soalnya jarang-jarang Ahmad mau neraktir minum kopi di kedai kopi dekat kampus.
            “Riz, aku mau cerita sesuatu nih sama kamu.”
Akhmad mulai membuka percakapan denganku, setelah seorang pelayan mengantarkan minuman yang kami pesan dari tadi, hingga tiba di meja kami dengan selamat.
            “Mau cerita apa? Serius banget.”
Akhmad mulai menceritakan uneg-uneg yang mulai kemarin menghantui pikirannya. Ya tentang Alibra, nama itu membuatnya teringat kalau dia punya adik bernama Alibra adik 10 tahun yang lalu hilang saat keluarganya rekreasi di kota ini. Kejadian itu berawal saat Alibra adiknya Akhmad minta dibelikan es krim. Namun Akhmad menolak, karena saat itu dia juga masih kecil dan punya sifat buruk, yaitu pelit.
Saat itu di sebuah taman, Akhmad tidak sadar, meninggalkan adiknya sendiri karena kesal dengan Alibra yang terus merengek meminta dibelikan es krim, sedang orang tuanya berada di sudut taman yang lain, hingga Alibra tidak berada di bawah pengawasan siapapun saat itu. Tidak selang waktu 12 menit Alibra hilang. Akhmad menangis berteriak memanggil orang tuanya. Minta bantuan polisi sudah, membuatn selebaran orang hilang sudah, pokoknya sudah berbagai cara dilakukan untuk menemukan Alibra namun gagal.
Dari situ Akhmad menceritakan, kenapa Akhmad selalu memberikan uang kepada perempuan di trotoar itu, karena perempuan itu mengingatkannya pada adiknya Alibra, kalau saja adiknya ditemukan pasti sudah sebesar itu. Sejak kejadian hilangnya Alibra, membuat Akhmad sadar, uang membutakannya, lebih baik kehilangan uang daripada kehilangan adiknya sendiri. Bagaimana bisa dia mengacuhkan orang yang sedarah daging dengannya. Tak mampu aku mendengar cerita Akhmad, sehingga membuatku hatiku se imut hello kitty tak mampu membendung air mata.
Tiba-tiba…..
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumussalam”.
Seseorang menghampiri kami, yang entah siapa. Berpakaian rapi, berjilbab warna pink. Sangat cantik. Bathinku.
            “Maaf mengganggu, bolehkah aku duduk disini.”
“Iya silahkan”. Kata Akhmad ramah.
“Perkenalkan saya Alibra”.
Kami terkejut mendengar pernyataan itu. Antara mimpi atau nyata. Antara takdir atau kebetulan semata.
            “Maaf jika Alibra membuat kaget, surat itu……”.
Sebelum Alibra melanjutkan pembicaraannya, Akhmad sudah lebih dulu memotong pembicaraannya.
            “Nama kamu Alibra, nama panjangnya apa?”
            “Alibra juga tidak tau nama panjang Alibra apa. Tapi Alibra punya ini.”
Sambil mengeluarkan sebuah kalung bertuliskan Alibra, persis kalung adiknya.
            “Kamu benar adikku.” Akhmad langsung mendekati Alibra. Namun Alibra sedikit ketakutan.
            “Maaf.” Alibra mengatakannya ragu.
            “Iya kamu adikku, Alibra. Lihat ini.” Akhmad mengeluarkan sebuah foto keluarga di dalam dompetnya.
            “Ini mama, ini papa, ini kaka, ini kamu.”
Lidah Alibra kelu mendengar pernyataan Akhmad yang begitu mengejutkannya. Namun meyakinkan. Karena Alibra tau dia sejak kecil tidak punya orang tua. Dia hanya tau namanya Alibra dan tinggal dengan seorang nenek di pinggiran kota. Namun sekarang nenek yang dari dulu menjaganya kira-kira 2 tahun lalu sudah meninggal, hingga Alibra harus berjuang untuk hidup sendirian dan terpaksa mengemis.
            “Percayalah sama kaka.”
            “Kalau kaka, memang kakakku, kenapa kalian tidak mencariku?”
            “Kami sudah mencarimu, namun kami gagal menemukanmu.”
Akhmad sebisa mungkin menjelaskan kepada Alibra agar dia percaya dan paham, dan mau kembali ke keluarganya. Hingga pada akhirnya dilakukan tes DNA, dan hasilnya positif. Alibra yang dulu hilang telah kembali. Ikatan seorang kakak kepada adiknya memang kuat. Akhmad sangat meminta maaf kepada Alibra atas kejadian 10 tahun yang lalu, yang membuat mereka terpisah.
Gara-gara masalah uang mereka terpisah, namun gara-gara uang pula mereka bertemu. Cinta seorang kakak kepada adiknya yang terkalahkan oleh uang, namun terlemahkan saat kehilangan. Kita tau cinta dan uang itu penting. Namun, uang dan cinta itu sebenarnya seimbang, jika salah satu lemah, maka yang lain tidak akan kuat. Kita tidak bisa hidup dengan uang tanpa cinta, dan kita juga tidak bisa hidup dengan cinta tanpa uang. Kita bisa mendapatkan uang dengan cinta, namun kita tidak bisa mendapatkan cinta dengan uang. Karena hakikatnya cinta itu tidak ternilai, namun uang itu bernilai.
=THE END=
Blogpost ini di buat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Pilih Mana: Cinta atau Uang?” #KeputusanCerdas yang diselenggarakan oleh CekAja.com dan NulisBuku.com

Post a Comment

0 Comments